KEKUDUSAN DIMULAI DARI RUMAH ALLAH (Yohanes 2:13-22)

Minggu, 3 Maret (Minggu Sengsara IV) Stola Ungu

Tujuan : Agar warga jemaat senantiasa waspada dan menjaga motivasi yang benar di hadapan Allah untuk membiarkan hidup kita sebagai Bait Allah berfungsi dengan benar sesuai tujuanNya

Selain dalam Yohanes, kisah yang sama juga dikisahkan dalam ketiga Injil yang lain, yakni: Matius
21:12-13; Markus 11:15-17; dan Lukas 19:45-46. Namun ada perbedaan antara pengisahan dalam Yohanes dengan ketiga Injil Sinoptik yang lain. Apabila membaca dalam Injil Yohanes, maka kisah ini seolah-olah terjadi di awal pelayanan Yesus. Sedangkan dalam Injil Sinoptik menempatkannya pada akhir pelayanan Yesus.


Dalam banyak cerita yang kita baca atau dengar, Tuhan Yesus digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut dan sopan dan memang benar Tuhan Yesus datang bukan sebagai Tuhan yang menghukum orang- orang berdosa melainkan sebagai Tuhan yang baik, murah hati dan mau berkorban untuk keselamatan semua orang, bahkan orang yang berdosa (Bnd.Matius 12:18-
21; Yesaya 42:1-9) Tetapi dalam beberapa kesempatan sebenarnya kita dapati Tuhan Yesus juga tampil sebagai penentang yang mengkritik dengan tegas kemunafikan, hal yang sama juga terjadi dalam bacaan kita hari ini, kita melihat Tuhan Yesus yang marah bahkan merusak barang-barang jualan para pedagang di Bait Suci (ay. 15).


Tuhan Yesus yang sering digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih dan mudah berbelas kasihan, marah besar bahkan menakutkan (sambil membawa cambuk dari tali). Yesus mengusir dan mengobrak-abrik para pedagang dan penukar uang yang ada di sana. Tentu bukan masalah penyediaan hewan-hewan korban dan penukaran uang yang memicu kemarahan Yesus. Sebab, tradisi Yahudi menghayati hukum-hukum dan ketetapan tertentu dalam hal tata cara pemberian korban. Jadi penyediaan korban dan penukaran uang ini sebenarnya menolong para peziarah yang akan melakukan ibadah di Bait Allah ini. Yang membuat Yesus murka adalah praktek korup dan pemerasan yang dilakukan dalam kegiatan tersebut. Hukum Allah dipakai sedemikian rupa sebagai alat untuk memeras orang dan mendapatkan keuntungan. Bait Allah yang seharusnya dihayati sebagai simbol kehadiran Allah (Sang Pembebas Israel), justru menjadi tempat penindasan. Jadi, Tindakan Tuhan Yesus sebenarnya tidak secara khusus menyerang/menentang para pedagang melainkan menentang sistem yang korup dalam Bait Suci dan dengan tindakan itu, Tuhan Yesus secara tegas memproklamirkan diri sebagai Mesias, Anak Allah yang berhak bertindak membersihkan Bait Suci dari segala hal yang buruk (ay. 16, 18) Maka sekali lagi, Allah dalam diri Yesus membersihkan, membereskan dan membebaskan penindasan itu.


Hal seperti ini sudah terjadi sejak dulu kala. Nabi Amos berteriak atas kecurangan para imam yang seharusnya menjadi penggembala domba, bukan pemerah domba. Kebanyakan imam sangat bergairah ke Bait Suci, bukan untuk pelayanan melainkan pemerasan, bukan juga untuk mencari kekudusan tapi kolusi dengan pedagang. Dengan topeng pelayanan, mereka meraup keuntungan (Bnd. Amos 4 dan 8).


Dalam konteks masa kini, kita tidak lagi menjumpai peristiwa jual-beli seperti yang terjadi di halaman Bait Allah pada waktu itu. Namun demikian, kisah ini mengingatkan kepada kita, bahwa jika hati kita telah berubah setia, dari Allah kepada materi, maka perkara rohani dalam bentuk apapun, dapat saja kita manipulasi, demi mengeruk keuntungan yang besar bagi diri kita sendiri, apalagi jika kita memiliki kedudukan seperti para imam dan ahli Taurat.


Aturan dan ajaran firman Allah yang benar dapat diubah menjadi ajaran yang nampaknya benar, tetapi sesungguhnya tidak benar. Demikian pula, kecintaan terhadap materi tidak hanya menghancurkan kerohanian diri sendiri, tapi juga akan menjadi batu sandungan bagi orang lain untuk datang kepada Dia. Kiranya setiap kita senantiasa waspada dan menjaga motivasi yang benar di hadapan Allah untuk membiarkan hidup kita sebagai Bait Allah berfungsi dengan benar sesuai tujuanNya. amin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *